Syalom......

Persekutuan Eklesia ini didirikan atas dasar kerinduan dari umat-umat Allah yang rindu untuk menyatakan kasih kristus melalui sebuah persekutuan yang terus membangun iman, saling menguatkan dan saling mengingatkan untuk hidup sesuai dengan Firman Allah terlebih lagi untuk menyembah dalam Roh dan Kebenaran.

“Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian.
Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran.” (Yohanes 4 : 23 – 24)

Rabu, 29 Desember 2010

Anti Pemurtadan dan Sentimen Anti Kristen

UPAYA memantau pemurtadan yang terjadi di tengah umat Muslim kian gencar dilakukan oleh Forum Ulama Umat Islam (FUUI). Setelah sebelumnya KH Athian Ali, Ketua FUUI, menyebutkan adanya 90 titik pemurtadan di Bandung [baca: Kristenisasi di Bandung Mendapat Sorotan], kini giliran Hedi Muhammad, Sekretaris FUUI yang mengeluarkan pernyataan mengenai adanya potensi pemurtadan di balik pengalihfungsian bangunan menjadi gereja.
Hedi menuding bahwa pengalihfungsian tersebut adalah untuk memudahkan misi orang Kristen dalam melakukan pemurtadan. "Dengan begitu, mereka bisa dengan mudah menjalankan misinya untuk memindahkan keyakinan umat Islam," kata Hedi kepadaRepublika, Kamis (17/12).
Pengalihfungsian itu, menurut Hedi, hanyalah salah satu strategi yang kini dijalankan oleh orang-orang Kristen. Selain pengalihfungsian, ada juga cara-cara lain yang digunakan misalnya pemberian sembako, beasiswa, hingga pemberdayaan masyarakat seperti membuka koperasi beras, membangun peternakan domba, pelatihan keterampilan untuk kaum ibu hingga diajak jalan-jalan untuk kemudian dibaptis.
Namun, menurut Hedi, di antara cara-cara tersebut, cara yang paling banyak dilakukan adalah pengalihfungsian bangunan menjadi gereja atau tempat ibadah.
"Kalau di suatu wilayah sudah ada tempat ibadahnya, mereka tinggal berpikir bagaimana mencari jemaahnya," kata Hedi.
Hedi menambahkan bahwa pengalihfungsian bangunan menjadi gereja merupakan bentuk pelanggaran terhadap Surat Peraturan Bersama (SPB) Dua Menteri Nomor 9/2006 dan Nomor 8/2006. Menurut Hedi, sesuai SPB tersebut, syarat pendirian rumah ibadah harus terdapat sekurang-kurangnya 60 penganut agama di kawasan itu. Sementara, dalam kasus pengalihfungsian bangunan, syarat itu tidak dipenuhi, dengan demikian telah terjadi pelanggaran terhadap SPB.
FUUI dan sejumlah ormas Islam semakin giat melakukan pengawasan terhadap upaya-upaya pemurtadan yang mereka anggap dilakukan oleh orang-orang Kristen. Dampaknya antara lain aksi razia yang dilakukan FPI terhadap rumah-rumah yang digunakan sebagai tempat ibadah di Rancaekek, Bandung pada Minggu (12/12). Dalam aksi tersebut, sebanyak tujuh rumah disegel oleh FPI bersama dengan Satpol PP Kecamatan Rancaekek [baca: FPI Razia Rumah-rumah Yang Dijadikan Gereja di Bandung].
Sebelumnya, beberapa izin gereja juga dipersoalkan di wilayah Jabodetabek, termasuk kasus yang berujung pada pemukulan terhadap seorang pendeta dan penusukan seorang penatua HKBP di Bekasi [baca: Aksi Kekerasan: Pendeta Dipukul, Penatua Ditusuk].
Ini menunjukkan betapa sistematisnya gerakan membendung pemurtadan di Jawa Barat. Gerakan ini dikoordinasi dengan baik oleh ormas-ormas Islam di wilayah Jawa Barat dengan target menghalangi segala bentuk pemurtadan yang diklaim dilakukan oleh orang-orang Kristen.
Gerakan ini bukanlah gerakan baru. Gerakan anti pemurtadan sudah berkembang sejak dulu ketika ormas-ormas Islam secara intensif mengawasi perkembangan kampus-kampus teologi Kristen yang menelorkan lulusan-lulusan yang siap terjun sebagai misionaris.
Gerakan ini juga berupaya menghalangi dialog lintas iman yang disemangati oleh semangat pluralisme dengan jalan melakukan tekanan-tekanan terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam yang terlibat dalam dialog-dialog tersebut. Salah satu bagian dari kampanye anti pluralisme adalah dengan menuding IAIN sebagai "Ingkar Allah Ingkar Nabi" karena keterlibatan mahasiswa-mahasiswa IAIN secara aktif dalam sejumlah gerakan pluralisme.
Lembaga lain yang sering menjadi sorotan dari gerakan ini adalah Jaringan Islam Liberal (JIL) yang didirikan oleh Ulil Abshar Abdallah, seorang intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU), yang pada waktu itu sempat difatwa haram karena tulisan-tulisan kritisnya di media-media massa nasional.
Bukan tidak mungkin, gerakan-gerakan ini nantinya akan dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan yang lebih besar, apalagi menjelang 2014 dimana suhu politik dalam negeri akan kembali memanas.
Sementara, di kalangan orang Kristen sendiri, terdapat kerapuhan dalam jaringan kerja sama lintas gereja. Sejumlah gereja kini terlibat dalam berbagai perseteruan menyangkut hal-hal teologis maupun praktik keagamaan, seperti persoalan Nama TUHAN, Hari Sabat, makanan haram, baptisan, tata ibadah, sistim gereja dan sebagainya.
Di sisi lain, sejumlah kalangan Katolik dan mainstream Protestan menuding adanya bentuk-bentuk misi kebablasan di kalangan Kristen tertentu, khususnya kalangan fundamentalisme Kristen, yang memaknai misi sebagai upaya Kristenisasi. Misi-misi sosial yang kerap ditumpangi dengan misi Kristenisasi dianggap berbahaya bagi kekristenan itu sendiri karena dapat menyebabkan 'serangan balik.'
Dengan demikian, yang perlu dilakukan sekarang adalah mengaktifkan bentuk-bentuk dialog keberagamaan yang melibatkan lebih banyak pihak. Selama ini, dialog-dialog cenderung mandeg di kalangan intelektual atau di antara organisasi-organisasi keagamaan yang bersifat moderat. Sementara, kelompok-kelompok fundamentalis dan radikal jarang sekali dirangkul dalam berbagai bentuk dialog. Padahal benturan-benturan paling sering terjadi justru di antara kalangan-kalangan tersebut.

0 komentar:

Posting Komentar